Hadirnya Industri Tambang Berakibat Ruang Hidup Masyarakat Terancam
Penulis: Jaidi Abdul Gani
Ketua Umum FORMAPAS Maluku Utara Sejabodetabek
KEMBALI MENENGOK sejarah revolusi industri pertama kali meletus di Negara Inggris Tahun 1760-1830. Pada saat itu terjadi perubahan besar-besaran di Inggris, yang membuat Inggris lebih maju baik dari segi Teknologi maupun Ilmu pengetahuan. Sehingga mendorong negara-negara lain untuk melakukan revolusi juga.
Mengapa revolusi industri dianggap sebagai sejarah besar dunia? Tidak lain karena revolusi yang awalnya hanya terjadi di inggris, bisa menyebar cepat ke jerman, Amerika Serikat, Prancis, Italia, Jepang, dan berbagai negara lainnya. Tahun 1860, Revolusi industri memasuki fase baru yang di kenal sebagai revolusi industri kedua. Fase kedua ini terjadi antara Abad ke-19 dan Ke-20 dan di kenal juga dengan sembutan revolusi teknologi. (Sejarah Industri).
“Untuk memenuhi hajat hidup rakyat indonesia maka dibuatlah regulasi yang mengatur didalamnya”
Dasar Hukum UU 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas UU 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Minerba adalah Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4959).
Mineral dan Batubara sebagai salah satu kekayaan alam yang terkadung di dalam bumi merupakan sumber daya alam yang tidak terbarukan, sesuai dengan ketentuan pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Tahun 1945 dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Dalam perkembangan dasar hukum yang ada, yaitu UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang pertambangan Mineral dan Batubara dan peraturan pelaksanaannya belum dapat menjawab permasalahan serta kondisi aktual. Termasuk pelanggaran lingkungan oleh pihak perusahan dalam mengantongi izin kuasa pertambangan, mirisnya di biarkan pemerintah daerah dan tidak di sikapi dengan baik.
Mendulang kembali awal mula sejarah pertambangan di maluku utara. Sejak tahun 1980-an, awal kegiatan PT. Antam di pulau Gebe. Diyakini bahwa kegiatan pertambangan di maluku utara pertama kali dilakukan di pulau kecil ini, setelah itu baru mulai merambah di semua wilayah maluku utara. Data Kementerian ESDM (2014), total izin kuasa pertambangan di maluku utara sebanyak 335 IUP. Total ini telah mengkonversi lahan menjadi konsensi tambang sebesar 2.618.670 hektar.
Dengan demikian hampir setengah dari luas maluku utara telah diperuntukan untuk kegiatan tersebut, itupun belum ditambah dengan luas izin perkebunan besar seperti perkebunan sawit, HPH dan HTI. Beban ini mendorong palau halmahera harus menghadapi resiko yang berbahaya di masa yang akan datang. Kerusakan lingkungan tidak akan terkendali jika izin ini bekerja secara masif. Sebelumnya sudah dikemukakan oleh Puslitbang Universitas Hasanudin (2012) dalam kajian lingkungan di maluku utara yang merekomendasikan kepada pemetintah untuk melakukan moratorium izin tambang karena kerusakan lingkungan semakin parah. Namun rekomendasi tidak di Indahkan.
Gebe bukti bisu. Salah satu pulau kecil dengan luas hanya 224 km persegi. Pulau ini tergolong pulau kecil yang berada di ujung kaki pulau halmahera. Lebih tepat pulau Gebe perbatasan langsung dengan kepulauan raja ampat, pulau gebe sebenarnya memiliki keragaman hayati yang tak beda jauh dengan kepulauan raja ampat. Keindahan alamnya bisa mendorong gebe sebagai pusat parawisata di maluku utara. Namun potensi ini tidak dilirik pemerintah, sebaliknya potensi nikel di pulau ini menjadikan pulau Gebe dikenal sebagai penghasil tambang satu-satunya di maluku utara pada saat itu.
PT. Antam melakukan aktifitas pertambangan kurang lebih 30 tahun setelah itu memindahkan operasinya ke Buli, Halmahera Timur. Kerusakan ekologi harus menjadi beban yang di terima pulau Gebe, belum lagi tercerabutnya budaya masyarakat setempat sebagai nelayan dan petani PT Antam menciptakan ketergantungan secara ekonomi yang tinggi pada masyarakat Gebe. Sampai-sampai ketika sudah pasca tambang, seperti tidak ada harapan hidup lagi masyarakat. Mereka berharap ada perusahan tambang baru yang masuk untuk melakukan tambang di pulau ini.
Proses kemiskinan dan perbudakan secara langsung menjadi semakin tidak terhindarkan dan harus di terima masyarakat yang tidak siap sama sekali menghadapi kenyataan ini. Situasi yang sama juga terjadi pada wilayah lain dimana tambang bekerja. Buli, Pagu, Sawai, Obi, Taliabu, harus menerima dampak yang sama seperti Gebe. Proses penghancuran ruang hidup masyarakat setempat di lakukan secara sistematis dan tidak terkendali.
Giliran eksploitasi sumberdaya alam terutama tambang nikel di pulau-pulau kecil saat ini terkonsentrasi di pulau Gei dan Pulau Pakal, Halmahera Timur yang hanya berukuran kurang dari 5 km. Ekosistem di pulau tersebut di hancurkan untuk kepentingan ekonomi kapital. Pemerintah pusat mendorong halmahera menjadi pusat industri pertambangan terbesar di kawasan indonesia timur sebagaimana rencana tersebut tertera dalam Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Halmahera Timur di jadikan kawasan Industri Nikel di Maluku Utara untuk mengenjot eksploitasi nikel secara besar-besaran.
Undang-Undang 27 tahun 2007 tentang pengelolaan pesisir dan pulau-pulau seperti tidak memiliki taringnya sama sekali untuk menyeret pihak-pihak yang memberikan izin dan melakukan kegiatan di pulau-pulau ini. Pulau Gei dan Pulau pakal sebagai contoh kongkritnya damana Undang-Undang ini tidak bekerja untuk melindungi Pulau-Pulau kecil. Dua pulau ini menjadi sasaran PT. Antam melakukan kegiatan tambang, saat ini dibiarkan menganga begitu saja setelah hasil di garuk habis. Hutan dulunya lebat, ekosistem laut yang kaya, kini rusak karena karena kepentingan ekonomi semata. Kebijakan yang di pengaruhi oleh modal menjadi pendorong utama ekploitasi yang merusak ruang hidup berlangsung sekian waktu. (sumber: FWI).
Syair Nestapa: “Memandang hari depan negeri Halmahera Timur ini seperti menyelam di dasar danau berlumpur setelah jejak alam dan masa depan negeri ini kita biarkan hancur lebur”.
“Sebagai anak muda yang belum tuntas belajar membaca dan menghapal warna- warni bendera harus kita selesaikan macam-macam bencana saat prasangka memisahkan masing-masing tempat bijak pada tanah kelahiran yang tak lagi milik kita”.
Antara harapan dan suram, berbanding terbalik dengan kenyataan yang di hadapi masyarakat maluku utara. Masyarakatnya hidup berdampingan dengan hamparan kekayaan sumberdaya alam yang melimpah ruah.. Namun nyatanya tercatat Maluku Utara dengan tingkat kemiskinan tertinggi di Indonesia Iimur ibarat pribahasa “sekor ayam mati kelaparan diatas padi”. Apa yang salah dengan negeri ini? Apakah pemimpin kami tidak iklas memimpin kami. (*)