TIDORE, CH – Menyikapi kelangkaan Bahan Bakar Minyak (BBM) di Kota Tidore Kepulauan (Tikep) yang disoroti oleh Organisa Kendaraan Angkutan Darat (Organda) setempat, mendapat perhatian dari Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi (Disperindagkop) Kota Tikep.
Melalui Kepala Dinas Perindagkop, Saiful Bahri Latif mengatakan kelangkaan BBM di Kota Tikep, khususnya di Daratan Oba sesungguhnya terjadi karena pengaruh cuaca yang mengakibatkan kapal pemuatan BBM dari Ambon ke Ternate sedikit terlambat. Meski begitu, tidak terlalu berpengaruh terhadap penyediaan stok yang disiapkan Pertamina untuk Pemkot Tidore. Sehingga sehari dua, mungkin stok BBM di Tidore maupun di daratan Oba sudah dapat terlayani.
“Kalau BBM jenis Permium alias bensin, itu memang sengaja mau dihilangkan karena dianggap berdampak terhadap lingkungan, dan ini merupakan kebijakan dari Pemerintah Pusat sampai ke daerah, sehingga kedepan yang kita pakai itu hanya dua jenis BBM yakni Pertalite dan Pertamax,” tegasnya, Rabu (8/9/2021).
Sementara terkait dengan persoalan harga yang disoroti Organda karena sebelumnya ditetapkan oleh Pertamina untuk BBM jenis Pertalite yang dijual ke SPBU senilai Rp. 7.850 kemudian diturunkan menjadi Rp. 7.000, namun hal itu tidak berlaku.
Saiful, mengungkapkan bahwa itu merupakan sebuah skema yang ditawarkan oleh Pertamina ke Pemerintah, terutama buat Organda selaku salah satu konsumen terbesar penguna BBM. Pasalnya, sekema tersebut hanya berlaku selama satu bulan, dan ketika memasuki bulan baru maka harganya kembali normal menjadi Rp. 7.850.
“Waktu pertemuan kemarin, yang ditawarkan Pertamina ada dua skema, pertama menghilangkan BBM jenis Premium (Bensin) di tanggal 1 September, atau dilakukan secara bertahap sembari menurunkan harga BBM jenis Pertalite, tetapi itu hanya berlaku satu bulan. Olehnya itu, mengantisipasi jangan sampai ada gejolak karena terjadi fluktuaktif harga, maka kami bersepakat untuk menghilangkan bensin secara langsung dan harga pertalite tetap senilai Rp. 7.850, sehingga pada 1 Oktober nanti, itu bensin sudah tidak lagi dijual,” jelasnya.
Sementara soal pedagang eceran yang menjual BBM jenis Pertalite disetiap depot dengan harga Rp. 10 ribu, kata Saiful hal itu sudah bukan menjadi kewenangan Disperindagkop, karena Undang-Undang Tentang Migas hanya mengatur ranahnya Disperindagkop melakukan pengawasan pada SPBU dan APMS, dan harga di SPBU maupun APMS untuk Pertalite tetap dengan harga Rp. 7.850.
“Penjual pengecer ini sudah bukan lagi tanggungjawab kami, karena tidak diatur dalam Undang-Undang. Sehingga untuk saat ini, kami sudah tidak lagi mengeluarkan rekomendasi untuk mereka (Pemilik Depot), sebab BBM ini membutuhkan tempat yang aman, agar tidak terjadi kebakaran,” tuturnya.
Senada disampaikan Sekertaris Daerah Kota Tikep, ia menjelaskan terkait persoalan harga Pertalite yang dijual oleh pemilik depot ini, akan kembali dibicarakan oleh Pemerintah Daerah. Untuk itu, dia berharap setiap perkembangan menyangkut dengan BBM, Dinas Perindagkop dapat melaporkan perkembangannya untuk dibijaki lebih lanjut.
“Persoalan ini saya belum dapat info pasti, olehnya itu akan saya koordinasikan dengan Instansi terkait untuk ditindaklanjuti. Sehingga terkait dengan persoalan harga ini bisa dibijaki tanpa merugikan pihak penjual maupun masyarakat,” tegasnya.