Kembali Kepada Fitrah Setelah Ramadhan

Oleh: Hj.Eka Fatmawati Rubawange, S.H.,S.Pd/ Komisioner Panwaslu Kabupaten Malang Jawa Timur Periode 2010-2014


SETIAP KALI KITA berada pada ujung puasa ramadhan, maka sangat sering kita mendengar istilah meraih kemenangan kembali pada fitrah di hari yang fitri dalam setiap ceramah atau tausiah. Setiap mukmin yang berpuasa dengan khusyu dalam bulan ramadhan tentunya semata-mata hanya berharap barakah dan ridha Allah SWT.

Barakah dan ridha Allah dari keseluruhan amal ibadah semasa bulan ramadhan diyakini mampu membersihkan dan mensucikan lahir maupun batin setiap orang mukmin, sehingga mukmin tersebut akan mampu menjalani kehidupan sebelas bulan depan dengan istiqamah dalam tuntunan Allah SWT yang penuh dengan energi ilahiah yang diraih semasa puasa ramadhan.

Kalau hikmah puasa bulan ramadhan kemudian kita kaitkan dengan kefitrian atau kefitraan diri, maka puasa di bulan ramadhan wajib kita pahami sebagai proses kelahiran kembali, yang bila kita identikan dengan kelahiran seorang bayi maka bayi tersebut ibarat selembar kertas yang masih putih bersih dan suci belum tergores kesalahan apalagi dosa. Hal ini sesuai dengan hadis Rasulullah Muhammad SAW,  “ kullu mauludin yuladu alal fitrah “, artinya setiap anak lahir dalam keadaan fitrah,”

Dalam kajian ini kita tidak mengaji perihal kembali kepada fitrah dari konteks kelahiran seorang bayi, tetapi lebih kepada mengaji perihal seorang mukmin kembali kepada fitrah setelah khusyu berpuasa ramadhan. Untuk mengurai perihal ini maka, terlebih dahulu harus dipahami bahwa ibadah puasa di bulan ramadhan adalah satu perintah Allah, sebagamana dalam QS.al Baqarah ayat 183, yang berbunyi, “ ya ayuhallazi na amanu kutiba ‘alaiku mussi yamu kama kutiba ‘alallazi na min qoblikum la’allakum tattaqun”. wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagai mana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. Dari perintah inilah maka setiap orang yang beriman kepada Allah dan Kitabullah Al Qur’anul kariim wajib menunaikan puasa di bulan ramadhan sebagai ibadah.

Energi ilahiah yang diserap setiap mukmin selama menjalani ibadah puasa ramadhan harus mampu menjadi kekuatan atau daya tahan diri dari segala godaan syaithan yang terkutuk, dan dengan energi ilahiah juga seorang mukmin harus mengalami perubahan sikap hidup, artinya sikap hidup sebelum berpuasa dan setelah berpuasa harus lebih baik. Inti makna dari kalimat kembali kepada fitrah setelah sebulan khusyu dalam ibadah ramadhan adalah kembalinya seorang mukmin pada kesadaran diri. Setiap mukmin wajib menjalani proses ini dan akhirnya dapat merasakan lahirnya kembali kesadaran diri sebagai seorang makhluk yang dicipta oleh Allah SWT.

Dalam kekhusyuan menjalani puasa dan ibadah lainya selama bulan ramadhan, disinilah seorang mukmin berupaya mendekatkan dan merendahkan diri seraya memohon ampun sebanyak-banyaknya kepada Allah SWT.

Hakekat dari proses ini adalah  perjalanan seorang mukmin yang berupaya atau bahkan berjihad untuk kembali mengenal dirinya dan mengenal  Allah Penciptanya. Kalau proses ini dijalankan dengan sebenar-benarnya perjalanan yang mensucikan lahir dan batin, maka akhirnya seorang mukmin akan merasakan dosanya diampunani, karena seluruh ibadahnya dalam ramadhan diterima serta di ridhai Allah SWT, sehingga di dalam suasana inilah  seorang mukmin merasa terlahir kembali, karena memliki kesadaran baru dalam kehidupan menempuh sebelas bulan kedepan dengan energi ilahiah sebagai barakah bulan  ramadhan.

Memahami Taqarrub dan Tadharru Sebagai Proses Kembali Fitrah.

Dalam kekhusyuan seorang mukmin menjalani ibadah selama bulan ramadhan, sesungguhnya yang terjadi adalah mukmin tersebut sementara melakukan perjalanan suci lahir dan batin, yaitu dengan melakukan taqarrub-ilallah (mendekatkan pada Allah) dan tadharru’ ilallah (merendhakan diri  atau tunduk di hadapan Allah).

Puasa ramadhan sewajibnya dimaknai sebagai waktu perjalanan suci bagi setiap insan untuk meraih barakah dan ridha Allah SWT, karena hanya dengan taqarrub dan tadharru’ predikat taqwa yang dijanjikan oleh Allah dapat diraih. Sesuai  bunyi Surat Al Baqarah ayat 183.

Usaha atau upaya melakukan proses perjalanan dalam bulan ramadhan sesuai dengan firman Allah SWT, ” Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan.” SQ. al-Maidah ayat 35. Selain itu perintah taqarrub-ilallah juga terdapat pada QS.al-Alaq ayat 19, yang artinya , ” Dan, sujudlah dan dekatkanlah (dirimu kepada Allah)”. Selain sikap taqarrub Allah SWT juga memerintahkan untuk tadharru’ sesuai QS. al-A’raf ayat 55, yang artinya, “Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas ”.

Lebih lanjut Allah SWT berfirman pada hadis Qudsi, ”Apabila seorang hamba-Ku mendekati-Ku dengan berjalan, maka Aku akan mendekatinya dengan berlari. Apabila ia mendekati- Ku satu jengkal, Aku akan mendekatinya satu hasta.” (HR Bukhari dan Muslim). Dari uraian di atas dengan jelas dan tegas Allah telah menyatakan kedekatan dengan hamba-Nya. Selanjutnya kembali pada kemauan setiap mukmin untuk selalu ulet berusaha penuh istiqamah untuk mendekatkan diri kepada-Nya.

Penting Mengenal Diri Untuk Meraih Kefitraan Setelah Ramadhan.

Dalam mengaji dan menguraikan perjalanan suci ramadhan untuk kembali pada kefitrahan diri, sesungguhnya sebelum proses taqrrub dan tadharru’ ilallah dilakukan wajib didahului oleh proses mengenal diri. Begitu pentingnya mengenal diri dalam perjalanan suci seorang mukmin maka, lahirlah ungkapan atau kata-kata hikmah dalam bahasa arab, “,“Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu”, artinya, “ Barang siapa yang mengenal dirinya, sungguh ia telah mengenal Tuhannya ”. Makna terdalam dalam ungkapan tersebut adalah “ seseorang yang mengenal dirinya, sesungguhnya telah menyadari kelemahan diri sendiri, maka akan sangat mudah mengenal Tuhannya, bahkan dapat merasakan kehadiran dan kekuatan Allah SWT.

Ketika seorang mukmin mengenal dirinya dengan mengetahui segala kekurangan dirinya maka sesungguhnya akan muncul rasa malu pada Allah yang senantiasa bersama dirinya, malu pada Allah yang pasti selalu hadir dalam setiap tarikan nafas dan detakan jantungnya, dan rasa malu inilah yang akan mendekatkan dan menjatuhkan dirinya serendah-rendahnya di hadapan Allah SWT. Seharusnya kita malu pada Allah yang telah menciptakan manusia dengan jasad yang begitu sempurna dan dilengkapi dengan diri yang berkemampuan.

Kita harus memahami bahwa kekuatan yang ada di dalam diri kita ini dimampukan atau diberikan oleh Allah, yaitu dengan membagikan 7 (tujuh) dari sifat 20 ( dua puluh) yang dimiliki Allah SWT yang sesungguhnya juga merupakan kekuatan Allah dengan segala Ke-Mahaan-Nya. 7 (tujuh) sifat yang Allah berikan pada manusia adalah, qudrat, iradat, ilmu, hayat, sama’, bashar dan kalam, ketujuh sifat ini menjadi kekuatan dalam diri manusia untuk menjalankan misi ibadah dan kekhalifaan, sebagaimana firman Allah dalam QS. Adz-Dzaariyaat ayat 56, yang berbunyi, “wa ma khalaqtul jinna wal insa illa liya’budun,” artinya tidaklah aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepada Ku “. Dan QS. Al Baqarah ayat 30, “ wa iz qala rabbuka lil-mala`ikati inni ja ‘ilun fil-arḍi khalifah, qalu ataj ‘alu fīha may yufsidu fīha wa yasfikud-dima, wa naḥnu nusabbiḥu biḥamdika wa nuqaddisu lak, qala inni a’lamu ma ma la ta’lamun “, artinya, Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”.

Dengan kekuatan ketujuh sifat tersebut maka manusia diharapkan mampu menngenal dirinya dengan menemukan 4 (empat) penciptaan manusia yaitu unsur tanah, air, angin dan api. Dengan memahami makna dari setiap unsur penciptaan maka diharapkan manusia akan menunaikan 2 (dua) tujuan penciptaan yaitu beribadah dan sebagai khalifatul fil ard. Konkritisasi dari tujuan penciptaan lahirlah sikap hidup yang adalah 4 (empat) sifat Nabi dan Rasul, yaitu siddiq, amanah, tablig dan fathanah. Dan dari proses pengenalan diri inilah akan lahir sifat dan sikap seorang mukmin yang beraklakul karimah, sesuai dengan tujuan rasulullah yaitu mempebaiki akhlak manusia……sesuai hadis…..

Dan akhirnya ketika seorang telah hidup dengan akhlak yang baik dan benar maka insha Allah dalam dirinya telah terisi dengan energi ilahiah yang mampu mengamalkan amal ma’ruf nahi munkar. Sikap hidupnya telah sesuai dengan Al Qur’anul karim, artinya 6236 ayat atau 30 juz telah merajai diri dan kehidupannya sebagai mukmin insan qur’ani.

Insha Allah di ujung perjalanan suci bulan ramadhan tahun ini, dosa-dosa kita diampuni dan seluruh ibadah dalam ramadhan diterima serta di ridhai Allah SWT. Sehingga sebagai seorang mukmin akan merasa terlahir kembali, dengan lahirnya kesadaran baru untuk berjihad menjalani kehidupan sebelas bulan kedepan dengan ikhtiar, ikhlas, dan tawakal penuh berserah diri membawa semangat kemenangan.

Akhirul kalam mari kita tutup akhiru syahrul ramadhan dan menyambut hari kemenangan 1 Syawal 1441 Hijriah dengan penuh kesadaran baru yang lahir fitrah, seraya berdoa, “ Taqabbalallahu minna wa minkum shiyamana wa shiyamakum “, Minal aidin wal fa’idzin.

Dan untuk keselamatan bangsa dan rakyat Indonesia dan seluruh umat manusia dari mewabahnya virus covid corona 19, mari kita berdoa, “ Bismillahilladzi La Yadhurru Ma’asmihi Syai’un fil Ardhi wa Laa fis Sama’i wa Huwas Sami’ul ‘Alim.” Artinya: “Dengan nama Allah Yang bersama NamaNya sesuatu apa pun tidak akan celaka baik di bumi dan di langit. Dialah Maha Medengar lagi maha Mengetahui.” (..)

Show More
Back to top button