PHK Dua karyawan, SPN Malut Bakal Gugat PLTU Tikep Ke PHI
TIDORE, CH – Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Kota Tidore Kepulaun telah melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap dua (2) orang karyawan yang bekerja kurang lebih 7 tahun lamanya tanpa ada alasan yang jelas.
Karyawan korban PHK yang enggan namanya disebutkan menyatakan bahwa dirinya bersama rekannya di pecat tanpa ada alasan yang jelas. Bahkan surat pemecatan tersebut tidak diberikan secara langsung oleh perusahan melainkan dititip kepada karyawan lain.
“Torang (kami) dipecat itu sejak tanggal 30 Juni 2021, tapi surat pecat itu baru di kasih kemarin. Tanpa ada alasan yang jelas, saat ditanya ada salah satu petinggi PLTU juga mengaku tidak tahu alasan pemecatan itu,” ceritanya.
Melihat hal itu, Ketua Penanggung Jawab Serikat Pekerja Nasional (SPN) Maluku Utara, Arman Rajak mengatakan bahwa PLTU Kota Tidore Kepulauan tidak memahami hukum ketenagakerjaan.
Sebab menurut Arman Rajak, perusahan melakukan PHK tidak sesuai mekanisme yaitu, (1) Karyawan melakukan kesalahan berat, (2) Ditahan pihak berwajib, (3) Karyawan melakukan pelanggaran, (4) Karyawan ingin resign, (5) Perubahan status dan efisiensi perusahaan, (6) Perusahaan akan tutup atau bangkrut, (7) Karyawan meninggal dunia, (8) Karyawan pensiun, dan (9) Karyawan mangkir.
“Dan apabila karyawan tersebut melanggar ketentuan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahan atau perjanjian kerja bersama, pekerja/buruh diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut,” ujar Arman, Minggu (22/8/2021).
Lebih lanjut, kata Arman, dilihat bersama-sama ketentuan UU No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan pasal 151 ayat (1) dan ayat (2) berarti, PHK tidak boleh dilakukan secara sepihak melainkan harus melalui perundingan terlebih dahulu. Kemudian, apabila hasil perundingan tersebut tidak menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Selanjutnya pasal 151 ayat (3) Adapun lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang dimaksud adalah mediasi ketenagakerjaan, konsiliasi ketenagakerjaan, arbitrase ketenagakerjaan dan pengadilan hubungan industrial.
Pemutusan Hubungan Kerja tanpa adanya penetapan dari lembaga penyelesaian hubungan industrial akan menjadi batal demi hukum. Artinya, secara hukum PHK tersebut dianggap belum terjadi (pasal 155 ayat 1 UU No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan). Dan selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya (pasal 155 ayat 2 UU No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan).
Pekerja/buruh tetap harus bekerja dan Pengusaha tetap harus membayarkan upahnya selama belum ada keputusan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Pengusaha dapat melakukan pengecualian berupa tindakan skorsing kepada pekerja/buruh yang sedang dalam proses pemutusan hubungan kerja dengan tetap membayarkan upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh (pasal 155 ayat 3 UU No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan).
Arman Rajak, menyesalkan dua (2) Karyawan PLTU Kota Tidore Kepulauan yang di PHK tidak mendapatkan haknya yang tertuang dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja pasal 81 angka 44.
“Jika terjadi PHK, pengusaha wajib membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima,” ujarnya.
Ironisnya, pemecatan dua orang karyawan itu diduga ada unsur kesengajaan karena setelah di pecat atau PHK ada 4 orang yang direkrut oleh PLTU. Oleh sebab itu Serikat Pekerja Nasional (SPN) Maluku Utara akan mendatangi pihak PLTU Kota Tidore Kepulauan untuk melakukan Mediasi.
“Jika gagal maka SPN Maluku Utara menaikkan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI),” ancam Arman.