Pancasila Sudah Jelas Dalam Pembukaan Konstitusi Negara
Oleh. Burhanuddin Zein, S.H.,M.H.
Candidat Doktor Ilmu Hukum Program Doktor Ilmu Hukum (PDIH) Universitas Brawijaya Malang – Jatim
“UU HIP tidak diperlukan, karena Pancasila sebagai Sumber dari Segala Sumber Hukum dan telah menjadi Pancasila fundamental norm, ini telah jelas dalam Pembukaan Konstitusi Negara Republik Indonesia”
MENCERMATI POLEMIK di DPR RI dalam pembahasan satu rancangan undang-Undang yang kemudian dinamakan Rancangan Haluan Ideologi Pancasila yang disingkat RUU HIP, sesungguhya merupakan dinamika positif bagi para wakil rakyat dalam menjalankan fungsi legislasinya atau yang lebih tepatnya dalam melahirkan inisiatif mengusulkan rancangan undang-undangan yang merupakan salah satu hak dari DPR RI.
Hal menarik yang terjadi dalam pembahasan RUU HIP, yang mana RUU ini telah masuk dalam daftar prolegnas 2020, secara prosedural formal draf RUU HIP telah diusulkan ke Balegnas DPR RI tahun 2019, ini artinya bahwa RUU ini bukan barang baru, namun kenyataannya banyak sekali anggota DPR dari berbagai fraksi yang menolak dan meminta draf RUU tersebut direvisi dengan menghapus beberapa pasal bahkan ada yang meminta pembahasan RUU tersebut dihentikan karena dinilai ada upaya mengutak-atik pancasila menjadi trisila dan eka sila.
Bila ditinjau dari segi ilmu perundang-undangan atau teknik pembuatan perundang-undangan maka, kejadian di DPR ini sangatlah disayangkan karena selayaknya satu draf RUU itu telah melalui beberapa kajian internal yang sudah pasti melibatkan pemikir hukum atau akademisi hukum dan sejumlah pemikir atau ahli pada bidang yang relevan dengan substansi RUU yang akan dilahirkan, apalagi draf RUU ini lahir dari hak iniasiatif anggota DPR RI seharusnya lebih berkualitas dan memiliki kekuatan argumen yuridis, filosofis, historis, sosiollogis dan antropologis.
Karena secara ilmu, kualitas satu RUU dapat terbaca dalam Naskah Akademik RUU atau minimal diskusi awal yang bersifat akademis agar memiliki landasan pikir yang kuat, tidak mudah terbantahkan atau ditolak. Sebagamana telah diuraikan di atas bahwa secara prosedural formal draf RUU HIP telah diusulkan ke Balegnas DPR RI ditahun 2019, ini berarti draf ini bukan barang baru, yang kemudian oleh beberapa pihak menuding bahwa DPR RI sengaja membahasnya ketika perhatian seantero rakyat bangsa ini terfokus menghadapi ganasnya wabah penyakit covid 19. Bila tudingan ini benar, sungguh malang nasib rakyat bangsa kita karena beri ujian berlapis, yaitu pertama virus corona covid 19 dan yang kedua over kreatif dari anggota DPR karena melahirkan RUU HIP yang seakan menghapus sejarah kekejaman komunis tahun 1948 dan 1965.
Sikap pemerintah dalam hal ini sangat jelas, yaitu dengan menegaskan bahwa RUU tersebut adalah murni lahir dari hak inisiatif DPR RI, ini artinya pemerintah merasa tidak bertanggungjawab atas materi draf RUU HIP. Namun penolakan terhadap draf RUU HIP telah menimbulkan kegaduhan hukum, sosial dan politik, dalam hal ini seharusnya pemerintah bersikap tegas terhadap pihak yang melahirkan pemikiran trisula dan ekasila sehingga tercantum dalam draf RUU tersebut, termasuk sikap sengaja mengabaikan untuk tidak mencantumkan aturan hukum pelarangan paham komunis yaitu Tap MPR No I Tahun 2003 jo Tap MPRS XXV Tahun 1966.
Polemik penolakan RUU HIP hadir di awal penerapan kehidupan normal baru, ketika rakyat bangsa ini akan bangkit keluar dari situasi sulit, dan menghimpun energi serta mengembalikan semangat melawan ganasnya wabah covid 19, dan berusaha bangkit bekerja memenuhi tuntutan kebutuhan ekonomi keluarga, ekonomi daerah dan negara yang tidak dapat ditunda-tunda lagi.
Sikap negara meminta DPR untuk menunda pembahasan RUU menurut saya sudah tepat, karena DPR tidak punya dasar untuk melanjutkan, karena menurut hukum tata negara atau lebih tepatnya hukum legislasi, satu RUU tidak dapat dibahas kalau tidak ada persetujuan atau bahkan tidak disetujui oleh pemerintah dalam hal ini Presiden.
Dalam situasi seperti ini masing-masing pihak baik itu DPR sebagai lembaga legislatif dan pemerintah sebagai eksekutif harus melakukan koreksi atas sejumlah pasal yang dinilai menimbulkan kegaduhan, tahap ini dinamakan proses harmonisasi materi RUU. Dan seharusnya publik memberikan ruang.
Terlepas dari polemik pengajuan dan pembahasan RUU HIP yang terjadi saat ini, dalam pandangan hukum tata negara Pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum yang secara jelas dan tegas tercantum dalam Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia maka menurut pendapat saya tidak perlu diatur dalam undang-undang tersendiri, apalagi mencoba untuk mengurangi jumlah sila, karena Pembukaan Konstitusi Negara mengakui adanya lima sila, sehingga tidak perlu lagi kita membahas tentang trisila ataupun ekasila, apalagi ekasila yang dimaksud adalah gotong-royong yang diidentikkan dengan ideologi sosialisme dan komunisme.
Padahal gotong-royng yang kita miliki adalah kumpulan nilai-nilai kemanusiaan dalam kebersamaan yang yang tentunya sangat terkait dengan sila pertama, kedua, ketiga, kempat dan kelima, artinya kelima sila-sila itu saling terkait erat. Sehingga kalau ada pihak yang berupaya meringkas menjadi trisila atau ekasila maka itu tindakan yang melanggar pancasila itu sendiri.
Menurut pandangan hukum tata negara Pancasila adalah state fundamental norm, artinya Pancasila adalah norma dasar negara, sehingga menurut saya semua aspek kehidupan berbangsa dan bernegara wajib dilandaskan atau berpedoman kepada sila-sila Pancasila. Sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi sila pertama dan terutama, ini artinya segala yang menyangkut nilai-nilai kemanusiaan, persatuan dan kesatuan serta demokrasi dan keadilan sosial harus dijiwai oleh sila pertama Pancasila.
Dari uraian di atas, maka menurut saya dari perspektif hukum tata negara Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila tidak butuhkan, yang dibutuhkan rakyat adalah aturan yang lebih jelas dan tegas terkait dengan penguatan terhadap eksistensi Badan Pembinaan Ideologi Pancasila dalam hal Peningkatan Penghayatan dan Pengamalan Pancasila bagi setiap warga negara, dari generasi termuda yaitu mulai dari tingkat Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) sampai mahasiswa dan generasi dewasa di lingkup pemerintahan. Contoh konkritnya harus ada formulasi yang tepat untuk penanaman dan peningkatan nilai-nilai Pancasila dalam tahap pembekalan bagi setiap CPNS dan bagi setiap Pejabat PNS atau TNI dan Polri yang mengikuti ujian kenaikan pangkat dan golongan. Ini yang diperlukan oleh kita sebagai bangsa agar lahir sikap nasionalisme, patriotisme dan juga sikap anti tindakan korupsi pada generasi bangsa.
Terkait dengan tidak dicantumkannya aturan tentang pelarangan paham komunis dan paham-paham terlarang lainnya dalam konsiderans RUU HIP, menurut saya itu belum bisa menjadi indikator kuat untuk menuding bahwa pihak pengusul RUU di DPR pro terhadap paham komunis. Namun kita sebagai bangsa yang pernah mengalami peristiwa sadis ditahun 1948 dan 1965, patut untuk lebih waspada dan ikhtiar. Dan mengenai indikasi kebangkitan komunis di Indonesia sesungguhnya telah diingatkan oleh salah satu tokoh nasional kita kira-kira setahun lalu.
Akhirnya demi keselamatan dan kelangsungan hidup Bangsa dan Negara Indonesia tercinta, maka segenap rakyat harus mendukung sikap tegas pemerintah untuk meminta DPR untuk menghentikan pembahasan RUU HIP. (*)