Penerapan Asas Contrarius Actus Dalam Pembetulan Kutipan Akta Pencatatan Sipil Di Kabupaten Halmahera Utara
Oleh: Hendra Wahyudi (Hakim Pengadilan Negeri Tobelo)
KETENTUAN Administrasi Kependudukan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 yang diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 dibentuk dengan filosofi yakni Negara pada hakikatnya berkewajiban memberikan perlindungan dan pengakuan terhadap penentuan status pribadi dan status hukum atas setiap Peristiwa Penting yang dialami oleh Penduduk dan/atau Warga Negara Indonesia yang berada di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Peristiwa penting tersebut dalam arti yaitu kejadian yang dialami oleh seseorang meliputi kelahiran, kematian, lahir mati, perkawinan, perceraian, pengakuan anak, pengesahan anak, pengangkatan anak, perubahan nama ataupun perubahan status kewarganegaraan. Atas dasar tersebut, maka Instansi Pelaksana yang melaksanakan urusan Administrasi Kependudukan berkewajiban untuk mendaftar dan mencatat, memberikan pelayanan yang sama dan profesional kepada setiap Penduduk atas pelaporan kejadian, menerbitkan Dokumen Kependudukan seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau Kutipan Akta Pencatatan Sipil, serta menjamin kerahasiaan dan keamanan data.
Penyelenggaraan administasi pemerintahan termasuk layanan administrasi kependudukan berupa penerbitan dokumen sepatutnya dilakukan sesuai dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB), di antaranya yaitu asas kecermatan dan pelayanan yang baik. Akan tetapi, terkadang masih terjadi kekeliruan dalam penerbitan Dokumen Kependudukan berupa Kutipan Akta Pencatatan Sipil seperti Akta Kelahiran, Akta Perkawinan, Akta Kematian, maupun Akta Perceraian, baik oleh Instansi Pelaksana sendiri maupun karena kelalaian dalam pelaporan oleh penduduk. Kekeliruan tersebut terjadi misalnya berupa kesalahan dalam substansi Kutipan Akta Pencatatan Sipil yang diterbitkan, seperti kesalahan penulisan nama orang yang mengalami Peristiwa Penting, tempat dan tanggal Peristiwa Penting, ataupun tempat dan tanggal dikeluarkannya akta.
Begitupun dengan yang terjadi di Kabupaten Halmahera Utara. Pengalaman Penulis mengadili Perkara Perdata Permohonan di Pengadilan Negeri Tobelo, terdapat beberapa permohonan yang didaftarkan berkenaan dengan pembetulan substansi Kutipan Akta Pencatatan Sipil. Pernah terjadi misalnya, seorang anak senyatanya dilahirkan pada tanggal 03 Januari 2015, namun di dalam Kutipan Akta Kelahiran yang diterbitkan tertulis dilahirkan pada tanggal 03 Januari 2018. Atau pernah terjadi juga bahwa seseorang pada faktanya baru meninggal dunia pada tanggal 28 Februari 2020, namun di dalam Kutipan Akta Kematian tertulis meninggal dunia pada tanggal 02 September 2018. Atau ada juga seseorang mempunyai nama sebenarnya yaitu SUTARMO, namun di dalam KTP maupun Kartu Keluarga tertulis nama SURATMO.
Meskipun berdasarkan Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan disebutkan bahwa jenis-jenis permohonan yang dapat diajukan melalui Pengadilan Negeri antara lain yaitu permohonan untuk memperbaiki kesalahan dalam akta catatan sipil, misalnya apabila nama anak secara salah disebutkan dalam akta tersebut, namun sejatinya pembetulan Kutipan Akta Pencatatan Sipil dapat dilakukan tanpa adanya Penetapan dari Pengadilan. Dalam konsep hukum administrasi, terdapat asas yang menjelaskan bahwa siapapun Pejabat Tata Usaha Negara yang membuat Keputusan Tata Usaha Negara, maka dengan sendirinya berwenang mengubah, mengganti, mencabut, atau membatalkan dokumen yang dibuatnya tersebut. Asas yang berasal dari bahasa latin inilah yang dalam hukum administrasi negara disebut dengan asas Contrarius Actus.
Menurut Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati dalam bukunya Argumentasi Hukum, asas Contrarius Actus diartikan sebagai kewenangan yang melekat pada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara dapat juga membatalkan putusan tersebut, meskipun di dalam Keputusan Tata Usaha Negara tidak diatur terkait klausula pengamanan yang lazim, hal ini biasanya dapat ditemukan terhadap berbagai macam putusan tata usaha negara yang biasanya mencantumkan klausula “apabila di kemudian hari ternyata ada kekeliruan atau kekhilafan maka keputusan ini akan ditinjau kembali”.
Asas tersebut berarti bahwa apabila Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan oleh Pejabat Tata Usaha Negara mengandung suatu kecacatan yuridis atau kekeliruan secara administratif, maka yang berwenang untuk mengubah, mengganti, mencabut, atau membatalkan adalah Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan tersebut melalui suatu Keputusan Tata Usaha Negara yang memiliki kesetaraan yang sama atau level yang lebih tinggi. Pelaksanaan pembetulannya pun dapat dilakukan oleh Pejabat yang baru atau berbeda walaupun seandainya Pejabat lama yang menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara tersebut telah mutasi, sepanjang masih dilakukan dalam jabatan yang sama, mengingat administasi pemerintahan sesuai Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 juga menganut asas keberlanjutan.
Lalu bagaimanakah penerapan asas Contrarius Actus dalam pembetulan Kutipan Akta Pencatatan Sipil tersebut dilaksanakan?
Sebagai pikiran dasar, asas Contrarius Actus sebenarnya telah terejawantahkan dalam hukum positif sebagaimana termuat dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 jo. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan, maupun Peraturan Presiden Nomor 96 Tahun 2018 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil. Pasal 71 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 jo. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan telah mengatur bahwa pembetulan Akta Pencatatan Sipil yang terdiri dari Register dan Kutipan Akta Pencatatan Sipil berupa kesalahan tulis redaksional dilaksanakan dengan atau tanpa permohonan dari orang yang menjadi subjek akta. Lebih lanjut Pasal 59 ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 96 Tahun 2018 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil mengatur bahwa pembetulan tersebut dilakukan pada Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) Kabupaten/Kota atau Unit Pelaksana Teknis (UPT) Disdukcapil Kabupaten/Kota atau Perwakilan Republik Indonesia sesuai domisili dengan atau tanpa permohonan dari subjek akta.
Berdasarkan ketentuan tersebut, telah jelas bahwa pembetulan Kutipan Akta Pencatatan Sipil dapat dilakukan secara langsung oleh Instansi Pelaksana yang melaksanakan urusan Administrasi Kependudukan karena kewenangannya sebab dapat dilaksanakan tanpa adanya permohonan dari subjek akta. Apabila Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara menyadari adanya kekeliruan misalnya berupa kesalahan dalam substansi Kutipan Akta Pencatatan Sipil yang diterbitkan, maka Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dalam kedudukan atau jabatan yang sama dapat langsung melakukan pembetulan meskipun tanpa permohonan dari subjek akta.
Adapun apabila pembetulan Kutipan Akta Pencatatan Sipil tersebut dilakukan dengan permohonan dari subjek akta, sesuai Pasal 59 ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 96 Tahun 2018 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil, maka harus dilengkapi atau memenuhi persyaratan berupa dokumen autentik yang menjadi persyaratan pembuatan Akta Pencatatan Sipil dan Kutipan Akta Pencatatan Sipil yang terdapat kesalahan tulis redaksional.
Dokumen autentik yang dapat dijadikan sebagai dasar pembetulan tersebut misalnya surat keterangan kelahiran atau surat keterangan kematian dari instansi yang berwenang, KTP, Kartu Keluarga, ijazah, buku nikah, ataupun Surat Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak (SPTJM) atas kebenaran data dengan diketahui oleh 2 (dua) orang saksi. Dokumen-dokumen tersebut harus dapat mendukung dan membuktikan secara kuat guna menyesuaikan atau meluruskan dengan fakta yang ada dan sebenarnya.
Dengan diterapkannya asas Contrarius Actus ini oleh Instansi Pelaksana diharapkan dapat menyelesaikan kebuntuan-kebuntuan dalam layanan administrasi kependudukan termasuk dalam layanan pencatatan sipil, sehingga mempermudah masyarakat ataupun Penduduk dalam mendapatkan pelayanan dari pemerintah.
Akan tetapi, seandainya pun berkaitan dengan pembetulan Kutipan Akta Pencatatan Sipil tersebut tetap diajukan permohonannya ke Pengadilan Negeri, sesuai Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, maka pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya, dan Hakim yang mengadili permohonan tersebut tetap perlu meninjau atau menelaah terlebih dahulu kebenarannya, agar Penetapan Pengadilan tersebut memberikan kepastian hukum dan bermanfaat, sehingga di kemudian hari tidak menimbulkan masalah baru bagi pihak Pemohon.