Hindari Jerat Pidana Dan Pemberian Perlindungan Hukum Bagi Pembeli Beritikad Baik Dalam Aspek Hukum Pidana

Oleh
Muh, Hafiluddin, SH.MH
NASIB SIAL mungkin dapat saja menimpa seseorang yang telah membeli suatu barang/ benda dari hasil keringat dan jeripayanya kepada seseorang, lantas kemudian tiba –tiba disangka sebagai penadah padahal seseorang tersebut bukanlah seorang penadah. Mungkin nasib sial ini juga bisa saja terjadi kepada rekan –rekan. Menanggapi kejadian ini, saya kemudian tertarik untuk sedikit berceloteh dan membahas tentang hal ini.
Pertanyaan yang mungkin pernah muncul di benak rekan – rekan sekalian tentang hal ini adalah bagamaina perlindungan hukum terhadap pembeli beritikad baik yang membeli suatu barang lalu kemudian disangka sebagai penadah? Dan Apakah pembeli beritikad baik bisa dipidana karena kelalaiannya yang tidak mengetahui bahwa barang yang dibelinya adalah hasil atau patut diduga sebagai hasil dari kejahatan?
Untuk memulainya celotehan saya, saya akan terlebih dahulu memberi defenisi tentang apa itu pembeli beritikad baik? Dan apa itu penadah? Yang kemudian dalam penjelasan tersebut nantinya rekan – rekan akan dapat membedakan apa itu pembeli beritikad baik dan apa itu penadah. Baik, Menurut Ridwan Khairandy dalam bukunya yang berjudul “Itikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak” pada Halaman 194, beliau memberikan defenisi tentang pembeli beritikad baik, menurutnya seorang pembeli beritikad baik adalah “seseorang yang membeli barang dengan penuh rasa kepercayaan bahwa si penjual benar-benar adalah pemilik dari barang yang dijualnya itu.” Atau singkatnya dapat saya sebut bahwa pembeli beritikad baik adalah seorang pembeli yang yakin kepada penjual.
Sedangkan Penadah dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki arti orang yang menerima atau memperjualbelikan barang – barang curian. Namun lebih jelas unsur yang harus di penuhi untuk seseorang dikatakan sebagai penadah dapat dilihat pada Pasal 480 Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam unsur Pasal 480 KUHP disebutkan bahwa seorang dikatakan penadah apa bila seseorang tersebut melakukan bersekongkol, membeli, menyewa, menerima tukar, menerima gadai, menerima sebagai hadiah, atau hendak mendapat untung, menjual, menukar, menggadaikan, membawa, menyimpan atau menyembunyikan suatu barang yang diketahuinya atau patut diketahuinya atau patut disangkanya barang tersebut diperoleh karena kejahatan. Yang hemat saya dalam hal ini penadah bisa juga diartikan sebagai pembeli yang tidak beritikad baik/lalai saat bertransaksi.
Hal terpenting yang harus dipahami dan di garis bawahi bahwa seorang yang disebut penadah harus mensyaratkan bahwa seseorang tesebut mengetahui atau setidak – tidaknya dapat menyangka atau menduga bahwa barang yang berada padanya itu berasal dari kejahatan tanpa harus mengetahui pasti asal barang tersebut dari kejahatan apa, namun dengan demikian sudah cukup apabila seorang tersebut telah menduga bahwa barang yang ada padanya adalah bukan barang yang terang (hasil kejahatan).
Lalu muncul pertanyaan, bagaimana kita mengetahui bahwa barang yang akan kita beli bukan merupakan hasil dari kejahatan?. Untuk mengetahui bahwa barang yang akan kita beli bukan merupakan hasil kejahatan, seorang pembeli harus menanyakan tentang asal – usul dari barang yang akan di belinya, seperti dengan menanyakan kepada penjual tentang dahulu barangnya diperoleh darimana? Dibeli dengan harga berapa? Saat ini dijual dengan harga berapa?, alasan menjual dan Apakah barang yang akan dijualnya masih memiliki bukti pembelian atau setidak tidaknya kartu garansi?. Jika telah menanyakan hal tersebut, maka seorang pembeli telah melaksanakan kewajibannya selaku pembeli beritikad baik, karena ciri-ciri seorang pembeli beritikad baik salah satunya adalah ketelitian dalam menanyakan tentang asal – usul barang yang ingin dibelinya, seperti mengecek status hak dari barang atau benda yang akan dibelinya dan mengecek tentang status penjual yang ingin menjual barangnya.
Kemudian muncul masalah apabila seorang penjual mampu menceritakan tentang asal – usul perolehan barang yang ingin dijualnya namun tidak dapat menunjukkan bukti beli ataupun garansi barang yang akan dijualnya. Jika hal tersebut terjadi apakah seorang pembeli patut menduga bahwa barang yang akan dijual seseorang tersebut di peroleh dari kejahatan?. Lalu bagaimana jika seorang pembeli yakin bahwa seorang penjual adalah pemilik barang sah namun tidak dapat menunjukkan bukti beli atau garansi dari barang yang akan di jualnya?, solusi dari masalah tersebut menurut hemat saya adalah dengan membuat surat pernyataan, adalah surat pernyataan yang di buat oleh penjual yang menerangkan bahwa barang yang dijadikan objek jual beli bukan merupakan/ bukan diperoleh dari hasil kejahatan. Hal ini penting dilakukan semata-mata untuk melindungi pembeli dari masalah yang akan timbul di kemudian hari dan hal tersebut sebagai bentuk perlindungan terhadap pembeli yang telah beritikad baik.
Lantas bagaimana jika ada seorang yang secara tiba – tiba menawarkan barangnya kepada seseorang dengan harga yang murah? Apakah dengan tawaran harga yang murah dan tidak normal dari harga seharusnya, lantas seorang pembeli sudah seharusnya patut menduga bahwa barang tersebut adalah hasil kejahatan dari seorang yang ingin menjualnya?. Jawabanya belum tentu, dijualnya suatu barang dengan harga yang murah belum tentu mengartikan bahwa barang yang dijual oleh penjual tersebut merupakan hasil dari kejahatan.
Bisa jadi seseorang menjual murah barangnya dikarenakan agar barang yang hendak dijualnya tersebut cepat laku dan atau bisa jadi bahwa penjual tersebut sementara membutuhkan uang cash cepat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun yang perlu di ingat dan di catat bahwa sebagaimana yang telah dijelaskan diatas, seorang pembeli yang dikategorikan sebagai pembeli beritikad baik apabila seorang yang dengan ketelitiannya menanyakan tentang asal – usul barang yang akan dibelinya dan juga menanyakan tentang alasan penjual ingin menjual barangnya sebelum membeli barang.
Dengan ketelitian seorang pembeli dalam melakukan transaksi jual beli dengan cara menanyakan hal-hal tesebut diatas, maka syarat untuk seseorang dikatakan sebagai pembeli beritikad baik telah terpenuhi. Namun jika seorang pembeli tidak teliti atau lalai dalam melakukan jual beli maka seseorang tersebut tidak dapat dikatakan sebagai pembeli yang beritikad baik. Hal ini sesuai dengan Yurisprudensi mahkamah agung dalam putusannya Nomor 1816 K/Pdt/1989 Tanggal 22 Oktober 1992 menyatakan bahwa seorang pembeli tidak bisa di kualifikasikan sebagai pembeli beritikad baik sejak proses jual beli dilakukan, dimana jika tidak terdapat ketelitian pembeli/lalai dalam proses jual beli berlangsung.
Jika seorang pembeli telah teliti dalam proses jual belinya, maka secara hukum seseorang tersebut telah dikategorikan sebagai pembeli beritikad baik yang artinya bahwa seorang pembeli beritikad baik haruslah dapat memperoleh perlindungan secara hukum, namun perlindungan hukum yang dimaksud dalam hal ini adalah masih terbatas terhadap perlindungan hukum sebagai pembeli dalam rana hukum perdata. Hal tersebut sebagaimna yurisprudensi mahkamah Agung Nomor 1267 K/Pdt/2012 yang menyatakan bahwa “pembeli beritikad baik harus dilindungi.” Dimana seorang melakukan jual beli dengan pemilik barang/benda yang dianggap sah harus dilindungi secara hukum dan jika dalam transaksi jual beli tersebut ada
pihak yang di rugikan maka hak – hak pembeli beritikad baiklah yang harus di dahulukan untuk dilindungi oleh hukum.
Hal Itu berarti jika sejak awal seseorang telah menempatkan/memposisikan dirinya sebagai pembeli beritikad baik maka kewajiban hukumlah yang harus melindungi kepada pembeli tersebut dan jika di kemudian hari barang yang dijadikan objek jual beli dapat di buktikan bahwa objek tersebut diperoleh dari suatu sebab yang tidak halal (kejahatan) maka pembeli beritikad baiklah yang di dahulukan perlindungan hukumnya. Berbeda dengan pembeli yang lalai dalam proses jual beli, jika di suatu hari terbukti bahwa objek yang diperjualbelikan merupakan hasil kejahatan maka pembeli yang lalai dalam proses jual beli tersebut tidak dapat di lindungi secara hukum. Kelalaian pembeli
Didalam proses transaksi memposisikan atau menempatkan dirinya sebagai pembeli yang tidak beritikad baik, Lalu bagaimana dalam hukum pidana? apakah seorang pembeli beritikad baik juga mendapatkan perlindungan hukum sehingga dapat terbebas dari penjatuhan sanksi pidana.? Pembeli beritikad baik dalam hukum pidana indonesia seyogyanya atau sepatutnya diposisikan sebagai korban dari kejahatan seseorang sehingga harus mendapatkan perlindungan hukum dari pengenaan pidana, dengan diposisikannya pembeli beritikad baik sebagai korban maka pembeli beritikad baik tidaklah dapat di pidana atau dikriminalisasi, namun dalam hukum pidana indonesia saat ini belum ada pengaturan yang secara spesifik yang menjelaskan hal tersebut, Sehingga dalam menyikapi pelindungan
hukum terhadap pembeli beritikad baik dari segala bentuk kriminalisasi di butuhkan Keprofesionalismenya para penegak hukum (Polisi,Jaksa,Hakim) dalam melihat suatu peristiwa hukum yang dihadapinya di dalam lingkungan masyarakat. Agar dalam hal ini penegak hukum dapat membedakan posisi korban dan pelaku tindak pidana.
Pembeli yang beritikad baik berbeda dengan pembeli yang tidak beritikad baik. Pembeli yang tidak beritikad baik adalah pembeli yang lalai dalam transaksi jual belinya.
Pembeli beritikad baik harus mendapatkan perlindungan hukum dari segala bentuk kriminalisasi dan tidak dapat disebut sebagai penadah, sedangkan pembeli yang tidak beritikad baik atau pembeli yang lalai dapat kategorikan atau dapat diduga sebagai seorang penadah.
Seorang penegak hukum seyogyanya tidaklah dapat menghukum seorang pembeli yang dapat membuktikan dirinya sebagai pembeli beritikad baik, sebab jika hukum tidak memberi perlindungan terhadap pembeli beritikad baik khususnya dalam ranah hukum pidana, maka keadilan dalam berhukum tidak akan tercapai dan tidak akan pernah di rasakan oleh masyarakat.
Oleh karenanya Pembeli yang beritikad baik seyogyanya tidak di kualifikasikan melanggar ketentuan Pasal 480 KUHP baik ayat (1) maupun Ayat (2) yang jika dikemudian hari diketahui bahwa barang yang menjadi objek jual belinya ternyata adalah hasil dari kejahatan. Mengapa demikian? Karena menurut Hemat saya apabila aparat penegak hukum terkesan
memaksakan diterapkannya pasal 480 KUHP bagi seorang pembeli beritikad baik tanpa mempertimbangkan posisi seseorang tersebut, maka sudah jelas nantinya dalam penerapan unsur ke tiga pada ayat (1) dan (2) pasal ini tidak dapat terpenuhi. Hal ini bisa saya jelaskan sebagai berikut.
Pasal 480 KUHP terdiri dari dua Ayat, Pasal 480 menjelaskan bahwa “Diancam dengan pidana penjara paling lama 4 Tahun atau pidana denda sebayak Rp. 900. (1) Barang siapa membeli, menyewa, menukar, menerima gadai, menerima hadiah, atau untuk menarik keuntungan, menjual, menyewakan, menukarkan, menggadaikan, mengangkut, menyimpan atau menyembunyikan suatu benda yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduga bahwa diperoleh dari kejahatan penadahan (2) barang siapa menarik keuntungan dari hasil suatu benda yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduga bahwa diperoleh dari kejahatan.
Dalam menerapkan Ayat (1) Pasal 480 KUHP ini tentu ada beberapa unsur yang harus terpenuhi yang pertama; unsur barang siapa yang dimaksud disini adalah setiap orang/ subjek hukum yang dapat dibebankan pertanggung jawaban hukum. sehingga untuk memenuhi unsur ini haruslah dengan melakukan pengkajian terlebih dahulu terhadap subjek hukum yang di duga melakukan tindak pidana, pengkajian tersebut guna untuk memastikan bahwa apakah subjek hukum tersebut telah cakap untuk dibebankan pertanggung jawaban hukum pidana atau tidak, selain itu unsur ini juga harus memperhatikan ketiadaan alasan-alasan penghapusan pidana seperti alasan pemaaf dan pembenar yang melekat pada subjek hukum yang dimaksud. Unsur kedua; adalah unsur membeli, menyewa, menukar, menerima gadai, menerima hadiah, atau untuk menarik keuntungan, menjual, menyewakan, menukar, menggadaikan, mengangkut, menyimpan atau menyembunyikan suatu benda, unsur ini merupakan unsur yang bersifat alternative dimana salah satu perbuatan dalam unsur ini terbukti maka terbuktilah unsur kedua ini. sedangkan yang ketiga; adalah unsur yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduga bahwa diperoleh dari kejahatan penadahan, untuk memenuhi unsur ini maka seorang yang disebutkan dalam unsur kedua harus mengetahui atau patut untuk menduga bahwa suatu barang yang dikuasai dengan cara sebagaimana yang disebut di dalam unsur kedua adalah hasil dari kejahatan penadahan.
Melihat uraian unsur pasal 480 Ayat (1) diatas yang apabila dikaitkan dengan seorang pembeli beritikad baik, maka dapat dipastikan bahwa unsur yang nantinya tidak terpenuhi dalam penerapan pasal ini adalah unsur ketiga pada ayat (1) pasal 480 KHUP ini, mengapa demikian?, karena seorang pembeli beritikad baik adalah seorang pembeli yang yakin bahwa barang yang dibelinya merupakan kepunyaan sah dari penjual dan bukan dari hasil kejahatan. Dengan yakinnya seorang pembeli bahwa barang yang di belinya adalah kepunyaan sah dari seorang penjual maka unsur ketiga pada pasal 480 Ayat (1) KUHP tidak dapat terpenuhi.
Keyakinan seseorang pembeli terhadap barang yang dibelinya sebagai barang kepunyaan sah dari pemiliknya/penjualnya tentu diperoleh karena seseorang tersebut telah melaksanakan kewajibannya sebagai pembeli yang beritikad baik. Dengan terlebih dahulu menanyakan asal usul kepemilikan benda yang ingin di belinya kepada pemilik yang di anggap sah. Sehingga dengan demikian apabila ayat (1) dari pasal 480 KUHP tidak terpenuhi unsurnya maka secara otomatis unsur pada ayat (2) pasal inipun juga tidak akan terpenuhinya karena unsur ketiga pada ayat (1) pasal 480 KUHP sama dengan Unsur ke 3 Ayat (2) pasal ini.
Menghukum pembeli beritikad baik sama halnya menghukum orang yang tidak bersalah. Lebih baik membebaskan 1000 (seribu) orang yang bersalah, daripada
menghukum 1 (satu) orang yang tidak bersalah mungkin ada hukum ini yang tepat untuk menggambarkan betapa pentingnya pemberian perlindungan hukum kepada pembeli beritikad baik. (*)