Kasus KDRT Di Halbar Diklaim Menurun

Kepala DP3A Halbar, Fransiska Renjaan (Foto: Fiko CH)


HALBAR, CH- Berdasarkan data dari Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kabupaten Halmahera Barat (Halbar) Maluku Utara, jumlah kasus Kekerasan Rumah Tangga (KDRT) di 2020 menurun dibandingkan pada 2019.

Di 2020 jumlah 28 kasus, sementara di 2019 sebanyak 33 kasus. Jumlah ini tidak termasuk dengan jumlah kasus yang dilaporkan oleh warga ke pihak kepolisian. “Ini sesuai data kami, ini belum terkafer secara keseluruhan karena sebagian dilaporkan ke polres dan di kantor polres itu tidak menjadi data kami data kami cukup yang dilaporkan ke kami,” Kata, Kapala DP3A Halbar, Fransiska Renjaan di ruang kerjanya, Selasa (12/1/2021).

Disebutkan, ada 4 kasus KDR yang ditemukan di Halbar yakni,  kekerasan fisik,  psikis, seksual dan  pelantaran.  Jika  disimpulkan secara umum untuk kasus kekerasan yang dilakukan orang tua pada anak kandungnya  atau anak tiri dari 2017-2020 ada dua kasus yang lebih dominan.

“Yang pertama tindakan secara kekerasan fisik dan kedua adalah kekerasan pelantaran yang lain ada cuman yang lebih mendominasi dua itu,” sebutnya.

Dijelaskan, penanganan kasus KDRT oleh pemerintah daerah mengacu pada undang-undang nomor 23 tahun 2004 tentang penghapusan KDRT dan undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak atas perubahan undang-undang nomor 35 tahun 2015. “Ruang lingkup tugas dari DP3A dari dua undang-undang di atas yaitu untuk penanganan kasus-kasus kekerasan anak yang terjadi dalam hal rumah tangga,” jelasnya.

Fransiska meminta kepada seluruh masyarakat Halbar, jika terjadi kasus KDRT agar ikut membuat laporan ke dinas yang ia pimpin itu untuk ditindaklanjuti ke pihak yang berwenang.

Menurut Fransiska, banyak kasus KDRT yang tidak dilaporkan oleh warga yang mengalami karena dianggap tabu atau masalah privat yang nantinya disebut aib atau buat malu.

“Kesannya sosialisasi kami belum berhasil. Jadi kami himbau masyarakat jangan berfikir masalah pribadi, kecuali tidak ada kekerasan kalau ada tindakan kekerasan berarti kewenangan pemerintah supaya ada langkah-langkah perlu dilakukan sesuai undang-undang,” tukasnya.

Fransiska mengakui, pihaknya sedkit kesulitan melakukan sosialisasi ke masyarakat karena keterbatasan anggaran. Meskipun demikian sosialisasi masih bisa dilakukan melalui kerjasama dengan pemerintah desa maupun instansi lainya.

“Bentuk kerjasamanya kami komunikasi dengan mereka  jika ada kegiatan di desa informasikan ke kita agar kita sisipkan dengan sosialisasi KDRT, alhammdulillah cara yang kita lakukan bisa, begitu juga dengan pihak rumah sakit dan pihak gereja kami kerjasama modelnya seperti itu, jadi itu cara-cara yang kita lakukan,” akunya.

Dia berharap di 2021 ini kasus kekerasan anak dapat berkurang dalam kehidupan rumah tangga maupun di luar rumah tangga.  (Tr3/Red)

Show More
Back to top button